Mencari Bahagia
Kebahagiaan
adalah sesuatu yang selalu di dambakan oleh setiap insan. Dalam setiap derap
langkah dan hela nafas menyimpan satu tujuan : mencapai kebahagiaan. Merelakan
segala macam hal untuk dilakukan demi menggapai kebahagiaan dilakukan oleh
banyak insan demi kebahagiaan semu. Merelakan materi, waktu dan tenaga.
Sepintas
terpikir bahwa kebahagiaan selalu identik dengan materi, fisik dan jabatan.
Persepsi itu salah, karena kebahagiaan tidak harus diwujudkan dengan semua itu.
Karena jika indikator kebahagiaan hanyalah kekayaan, ketampanan dan jabatan
tinggi, maka kebahagiaan mutlak tidak akan dirasakan oleh orang tak
berkecukupan. Terlalu picik jika kita memandang seperti itu. Al-ghina ghina
al-nafs, kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan batin ini.
Kebahagiaan
adalah seni. Ia memerlukan pemupukan serta latihan-latihan. Kebahagiaan
memerlukan bahan baku yang bagus serta perawatan yang maksimal. Kebahagiaan
akan tumbuh subur kemudian kita harus menjaganya dengan sangat baik.
Kebahagiaan
dalam diri kita sering kali rusak karena masalah spiritualitas. Ini bukan
masalah spiritualitas biasa, karena tidak banyak orang yang mengetahui esensi
sebenarnya. Spiritualitas tidak dapat diukur dengan fisik. Spiritualitas
merupakan fenomena batin dan kejiwaan seseorang yang harus mampu mengolah
kecerdasan spiritualnya. Menganggap bahwa kebahagiaan sebatas kehidupan duniawi
seperti berada di dalam tempurung dan sesak didalamnya. Ketika kita keluar dari
tempurung itu, kita baru menyadari bahwa di atas ada langit, dan di atasnya
masih ada langit. Kebahagiaan yang selama ini kita yakini tidak ada artinya
lagi. Di sinilah mengingatkan diri kita untuk tidak berambisi mencari
popularitas di dunia. Yang terpenting adalah ma’lumun fissama’ (tenar di
langit).
Tetapi
bagaimana kita dapat tenar di langit kalau kita tidak mengenal apa yang ada di
langit. Keberanian untuk berfikir dan menerawang inilah yang disebut kecerdasan
spiritual. Mengulik keanggungan Sang Maha Pencipta dari semua ciptaan-Nya yang
indah dapat kita jadikan muhasabah diri.
Sebagaimana
kita yakini bahwa manusia diciptakan dalam keadaan suci. Lalu Alquran
menjelaskan bahwa tidak ada yang membedakan derajat manusia kecuali takwanya.
Dengan demikian, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menembus
dunia luar dengan cara shalat. Orang-orang yang sedang shalat itu sesungguhnya
seperti halnya orang yang sedang mi’raj . Nabi saw. bersabda, ”Shalat
itu adalah mi’rajnya orang beriman”. Shalat disebut mi’raj karena
ketika kita shalat dengan khusyu’ merupakan pendakian menuju entitas tak
terbatas, yaitu Rabb. Di dalam melaksanakan shalat, kita dapat berkomunikasi
dan berkonsultasi dengan Sang Pencipta.
Shalat
membawa kita terbang jauh untuk melihat kebesaran-Nya dan kebahagiaan melimpah
yang telah dihamparkan kepada kita. Bahkan ini lebih luas dari apa yang pernah
kita bayangkan sebelumnya tentang kebahagiaan. Oleh karena itu, Nabi saw.
bersabda, “al dunya siddun mu’minin wajannatu al-kafirun”, dunia ini
adalah neraka bagi orang muslim dan surga bagi orang kafir. Dunia ini sebagai
surganya orang kafir, karena dunia tempat yang menyenangkan. Mereka dapat
memuaskan hasrat dalam berbagai kenikmatan duniawi tanpa harus diatur oleh
hukum Allah Swt. yang berlaku padanya. Sehingga mereka tidak dapat membedakan
apa hal yang diperbolehkan dan dilarang oleh Allah Swt. Berbeda halnya dengan
orang muslim. Karena jika kita mengikuti nafsu duniawi hanya untuk memenuhi
hasrat semata, maka ini akan memancing murka Allah Swt. dan menghalangi kita
dalam meraih cinta-Nya. Kenikmatan dan kebahagiaan dunia hanya akan memalingkan kita dari cita-cita untuk
meraih kehidupan kekal yang lebih baik.
Tegaknya
nilai-nilai shalat akan mengantarkan kita kepada aktualisasi dalam setiap
tindaklaku dan kesadaran diri terhadap moralitas ketuhanan. Sebagaimana firman
Allah Swt. dalam QS. Al-Ankabut [29] : 45 yang artinya :
“Bacalah
kitab (Alquran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar”
Dengan
menunaikan shalat, dalam diri seorang hamba harus ada yang tegak. Apakah sujud
dan rukuk kita membuat sesuatu yang tegak dalam diri kita? Adakah shalat
memberi bekas pada diri kita? Jika dalam shalat kita mendapatkan nilai-nilai
yang tegak dalam diri kita, maka dengan sendirinya kita akan mengingat Allah.
Dengan mengingat Allah hati kita akan menjadi tenang. Tidak perduli kita
dicerca, dihina, atau disanjung, karena semua yang kita lakukan untuk
memperoleh cinta-Nya, bukan popularitas di tengah manusia. Oleh karena itu,
ibadah kepada Allah Swt. akan mengantarkan kebahagiaan di mana pun dan kapan
pun takdir membawa kita. Wallahu ‘alam
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSuper sekali
BalasHapus(>...<)
Hapus